21 Sep 2010

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006

Dear all Rekan-rekan Terkasih,
  1. Belakangan ini marak dibicarakan lagi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 (selanjutnya Perber 2 Menteri) terkait kasus HKBP di Bekasi. Melalui note/catatan ini, saya ingin memfasilitasi kita semua untuk berdiskusi tentang Perber 2 Menteri tersebut. Di bawah ini saya sudah men-copas (copy paste)  isi dari Perber 2 Menteri, kira-kira menurut rekan-rekan semua, bagian mana saja yang seringkali menjadi "batu sandungan" bagi pihak-pihak tertentu? Mari kita sharekan bersama.
  2. Dalam ruang maya ini, (atas persetujuan beliau) saya ditemani Pak Posma Sabam Manahan Rajagukguk, beliau adalah seorang Lawyer yang biasa menangani kasus-kasus seperti yang menimpa saudara-saudara kita di HKBP Bekasi. Mungkin beliau juga bisa men-share-kan pengalaman-pengalamannya terkait dengan Perber 2 Menteri tersebut. Selain sebagai seorang Lawyer, beliau juga adalah seorang Gembala Sidang/Pendeta, dan Pimpinan Pusat Lembaga Advokasi Hukum dan HAM (ELHAM) di Jakarta.
  3. Saya bukan seorang ahli hukum yang mengetahui betul peta hukum di Indonesia, jadi dalam forum ini, saya hanyalah sekedar fasilitator yang mencoba memfasilitasi pertemuan kita ini dan saya juga masih ingin banyak belajar dari kita semua tentang peta hukum di Indonesia terkait dengan kebebasan beragama dan beribadat menurut keyakinan masing-masing.
  4. Perber 2 Menteri di bawah ini, dan juga konstitusi-konstitusi serta peraturan perundang-undangan lainnya yang saya sertakan dalam note/catatan ini adalah hasil scan dan copas, jadi saya memohon maaf jika ada kesalahan dalam teknis pengetikan.
  5. Bagi rekan-rekan lain yang tidak ter-tag/ter-tandai dalam note/catatan ini tetapi ingin ikut berdiskusi dengan kita semua, saya persilahkan untuk bergabung. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih. Tuhan memberkati kita semua.


PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR : 9 TAHUN 2006
NOMOR : 8 TAHUN 2006
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT RERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA



MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI,



Menimbang :
a. bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun;
b. bahwa setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya;
c. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
d. bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu katenteraman dan ketertiban umum;
e. bahwa Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar, dan tertib;
f. bahwa arah kebijakan Pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang agama antara lain peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama, kehidupan beragama, serta peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama;
g. bahwa daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi, mempunyai kewajiban melaksanakan urusan wajib bidang perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta kewajiban melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
h. bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional;bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya mempunyai kewajiban memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
i. bahwa Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan lbadat Agama oleh Pemeluk-­Pemeluknya untuk pelaksanaannya di daerah otonom, pengaturannya perlu mendasarkan dan menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
j. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j, perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah lbadat;

Mengingat:
  1. Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara, Republik Indonesia Nomor 2726);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
  4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 4389);
  6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4468);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 24 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3331);
  8. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009;
  9. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tatakerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;
  10. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon : Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2005;
  11. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-­Pemeluknya;
  12. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-MAG/1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia;
  13. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;
  14. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang, Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri;
  15. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud dengan:
  1. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.
  3. Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
  4. Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan yang selanjutnya disebut Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.
  5. Pemuka Agama adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas kcagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan.
  6. Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.
  7. Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat.
  8. Izin Mendirikan Bangunan rumah ibadat yang selanjutnya disebut IMB rumah ibadat, adalah izin yang diterbitkan oleh bupati/walikota untuk pembangunan rumah ibadat.

BAB II TUGAS KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Pasal 2
Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah dan Pemerintah.

Pasal 3
(1)     Pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi tugas dan kewajiban gubernur.
(2)     Pelaksanaan tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor wilayah departemen agama provinsi.

Pasal 4
(1)     Pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota.
(2)     Pelaksanaan tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

Pasal 5
(1)     Tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di provinsi;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan
d. membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama.
(2)     Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada wakil gubernur.

Pasal 6
(1)     Tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: 
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di kabupaten/kota;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama;
d. membina dan mengoordinasikan camat, lurah atau kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama;
e. menerbitkan IMB rumah ibadat.
(2)     Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada wakil bupati/wakil walikota.
(3)     Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf c di wilayah kecamatan dilimpahkan kepada camat dan di wilayah kelurahan/desa dilimpahkan kepada lurah/kepala desa melalui camat.

Pasal 7
(1)     Tugas dan kewajiban camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kecamatan;
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan
c. membina dan mengoordinasikan lurah dan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan.
(2)     Tugas dan kewajiban lurah/kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kelurahan/desa; dan
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama.

BAB III FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Pasal 8
(1)     FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota.
(2)     Pembentukan FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah.
(3)     FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hubungan yang bersifat konsultatif.

Pasal 9
(1)     FKUB provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyal tugas:
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.
(2)     FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas:
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota;
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dari kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan
e. memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah lbadat.

Pasal 10
(1)     Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat.
(2)     Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan jumlah anggota FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 orang.
(3)     Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di provinsi dan kabupaten/kota.
(4)     FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh anggota.

Pasal 11
(1)     Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota.
(2)     Dewan Penasihat FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas:
a. membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan
b. memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
(3)     Keanggotaan Dewan Penasihat FKUB provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur dengan susunan keanggotaan:
a. Ketua : wakil gubernur
b. Wakil Ketua : kepala kantor wilayah departemen agama provinsi;
c. Sekretaris : kepala badan kesatuan bangsa dan politik provinsi;
d. Anggota : pimpinan instansi terkait.
(4)     Dewan Penasihat FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/walikota dengan susunan keanggotaan:
a. Ketua : wakil bupati/wakil walikota;
b. Wakil Ketua : kepala kantor departemen agama kabupaten/kota;
c. Sekretaris : kepala badan kesatuan bangsa dan politik kabupaten/kota;
d. Anggota : pimpinan instansi terkait.

Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasihat FKUB provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB IV PENDIRIAN RUMAH IBADAT

Pasal 13
(1)     Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
(2)     Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
(3)     Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.

Pasal 14
(1)     Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis, bangunan gedung.
(2)     Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
(3)     Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.

Pasal 15
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.

Pasal 16
(1)     Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.
(2)     Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohoran pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 17
Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.

BAB V IZIN SEMENTARA PEMANFAATAN BANGUNAN GEDUNG

Pasal 18
(1)     Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati walikota dengan memenuhi persyaratan:
a. laik fungsi; dan
b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
(2)     Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.
(3)     Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. izin tertulis pemilik bangunan;
b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

Pasal 19
(1)     Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.
(2)     Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

Pasal 20
(1)     Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dapat dilimpahkan kepada camat.
(2)     Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.

BAB VI PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 21
(1)     Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat.
(2)     Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota.
(3)     Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat.

Pasal 22
Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

BAB VII PENGAWASAN DAN PELAPORAN

Pasal 23
(1)     Gubernur dibantu kepala kantor wilayah departemen agama provinsi melakukan pengawasan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat.
(2)     Bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap camat dan lurah/kepala desa serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat.

Pasal 24
(1)     Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirin rumah ibadat di provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama dengan tembusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, dan Menteri Koordinator Kesejahterean Rakyat.
(2)     Bupati/walikota melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di kabupaten/kota kepada gubemur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
(3)     Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam) butan pada bulan Januari dan Juli, atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.

BAB VIII BELANJA

Pasal 25
Belanja pembinaan dan pengawasan terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama serta pemberdayaan FKUB secara nasional didanal dart dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 26
(1)     Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di provinsi didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.
(2)     Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di kabupaten/kota didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.

BAB IX KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 27
(1)     FKUB dan Dewan Penasihat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.
(2)     FKUB atau forum sejenis yang sudah dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota disesuaikan paling lambat 1(satu) tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.

Pasal 28
(1)     Izin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini dinyatakan sah dan tetap berlaku.
(2)     Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah mempunyai IMB untuk rumah ibadat, diproses sesuai dengan ketentuan IMB sepanjang tidak tedadl pemindahan lokasi.
(3)     Dalam hal bangunan gedung rumah ibadat yang telah digunakan secara permanen dan/atau memiliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama Ini, bupati/walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat dimaksud.

Pasal 29
Peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan daerah wajib disesuaikan dengan Peraturan Bersama ini paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.

BAB X KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30
Pada saat berlakunya Peraturan Bersama ini, ketentuan yang mengatur pendirian rumah ibadat dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 31
Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 2006


Kebebasan Beragama dan Beribadah menurut agama dan keyakinan dari setiap orang adalah Hak Asasi Manusia yang dilindungi Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, seperti:

UUD NRI tahun 1945:
  1. Pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 UUDNRI tahun 1945. Mengatur mengenai kebebasan beragama dan beribadat menurut agama dan keyakinannya masing-masing.
  2. Pasal 28 I ayat 1 UUDNRI tahun 1945. Mengatur tentang Hak Beragama dan Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Contoh: Pemutihan Tempat lbadah yang sudah berjalan dan diterima masyarakat.
  3. Pasal 28 I ayat 4 UUDNRI tahun 1945. Mengatur tentang Tanggung Jawab Negara terutama Pemerintah untuk Perlindungan, Pemajuan, Penegakkan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia. Contoh: Perber Menag dan Mendagri No.8/2006 dan 9/2006 apakah memenuhi atau mengurangi?
  4. Pasal 28 J ayat 1 UUDNRI tahun 1945. Mengatur penghormatan terhadap HAM
  5. Pasal 28 J ayat 2 UUDNRI 1945. Mengatur tentang pembatasan dalam menjalankan hak dan kebebasan. Contoh: Kegiatan lbadah yang tidak boleh mengganggu Ketertiban dan Keamanan Masyarakat.
  6. Pasal 29 ayat 1 UUDNRI tahun 1945. Mengatur bahwa Negara Indonesia adalah Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi bukan atas dasar agama, ataupun salah satu agama.
  7. Pasal 29 ayat 2 UUDNRI 1945. Mengatur bahwa Negara dalam hal ini Pemerintah menjamin Kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Jo UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan HAM
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia secara khusus antara lain mengatur hal-hal pokok sebagaimana diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
  1. Pasal 1 ayat 3 jo Pasal 3 ayat 3 UU No. 39/1999 mengatur tentang Larangan Diskriminasi
  2. Pasal 1 ayat 6 UU No. 39/1999 mengatur tentang definisi Pelanggaran Hak Asasi Manusia
  3. Pasal 22 ayat 1 UU No. 39/1999 mengatur tentan Kebebasan Beragama dan Beribadah
  4. Pasal 22 ayat 2 UU No. 39/1999 mengatur tentang Jaminan Negara atas Kemerdekaan memeluk agama dan beribadah
  5. Pasal 27 ayat 1 UU No. 39/1999 mengatur tentang Kebebasan bertempat tinggal dalam wilayah NKRI
  6. Pasal 30 dan 31 UU No. 39/1999 mengatur tentang Hak Rasa Aman dari Gangguan
Pelanggaran Atau Kejahatan HAM
Pelanggaran atau Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang antara lain mengatur:
  1. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di dalam lingkup peradilan umum dan berkedudukan di kota/kabupaten di mana pengadilan umum itu berada (Pasal 3 jo Pasal 4 UU No. 26 tahun 2000)
  2. Pengadilan HAM hanya memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat (Pasal 4)
  3. Pengadilan HAM juga berwenang mengadili anak berumur dibawah 17 tahun pada saat kejahatan itu dilakukan (Pasal 6)
  4. Pelanggaran HAM berat itu meliputi: a) Kejahatan Genosida; b) Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Pasal 7)
  5. Batasan Kejahatan Genosida (Pasal 8)
  6. Batasan Kejahatan Kemanusiaan (Pasal 9)
  7. Hukum Acara Pengadilan HAM adalah sesuai UU Pengadilan HAM dan KUHAP (Pasal 10)
  8. Korban dan Saksi Pelanggaran HAM dilindungi (Pasal 34)
  9. Korban pelanggaran HAM dan ahli Warisnya berhak atas Konpensasi, Restitusi dan Rehabilitasi (Pasal 35)
  10. Ketentuan Pidana Pelanggar HAM (Pasal 36-42)
Peraturan Tentang Bangunan Gedung
Peraturan tentang Bangunan Gedung diatur dalam UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, antara lain:
  1. Pasal 15 ayat 1 tentang Fungsi Bangunan Gedung yang antara lain berfungsi keagamaan
  2. Pasal 5 ayat 7 tentang Bangunan Gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi
  3. Pasal 6 mengatur tentang Peruntukan Lokasi, Pencantuman Fungsi dalam IMB, Perubahan Fungsi Bangunan Gedung
  4. Pasal 7 jo Pasal 37 ayat 1, mengatur tentang persyaratan administratif seperti: Status Kepemilikan Tanah dan Gedung dan IMB Gedung, dan persyaratan teknis bangunan (kelaikan fungsi bangunan)
  5. Pasal 8 ayat 4 mengatur tentang Perda yang mengatur IMB
  6. Pasal 39  tentang pembongkaran Gedung
  7. Pasal 42 tentang Peranan Masyarakat dalam mengajukan Gugatan kelompok atau Class Action atas bangunan Gedung yang dianggap merugikan masyarakat
  8. Pasal 44-17 tentang Sanksi
Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9/2006 dan 8/2006
Peraturan Khusus Tambahan Tentang Pendirian Rumah lbadah, Kewenangan Pemda dan Pemberdayaan FKUB (terlampir).

Mekanisme Pembentukan Perundang-undangan
Mekanisme pemebentukan perundang-undangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang antara lain mengatur:
  1. Pasal 5 dan 6 tentang Asas Materi Muatan Perundang-undangan yang berisi antara lain kemanusiaan dan dapat dilaksanakan. Contoh: Perber.
  2. Pasal 7 tentang Jenis dan Hirarki Perundang-undangan
  3. Pasal 34 tentang Peranan Dewan Perwakilan Daerah dan RUU tentang Agama
  4. Pasal 40-43 tentang Rancangan Peraturan Daerah
  5. Pasal 53 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
  6. Pasal 54 tentang Teknis Penyusunan dan atau bentuk Peraturan perundang-undangan harus mengacu UU No. 10 tahun 2004
  7. Pasal 56 mengatur tentang Peraturan Perundang-undangan dari tingkat Keputusan Presiden termasuk Keputusan Menteri yang sudah berlaku sebelum UU No. 10/2004 berlaku harus dibaca sebagai Peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 10/2004.
Peraturan Tentang Pemerintahan Daerah
Tentang Pemerintahan Daerah dengan Otoromi diatur dalam UUDNRI Tahun 1945 dan UU No. 32 tahun 2005 tentang Pemerintah Daerah, antara lain mengatur tentang:
  1. Pasal 18 ayat 5 UUDNRI tahun 1945 tentang Batasan Otonomi Pemerintah Daerah
  2. Pasal 10 ayat 6 UUDNRI tahun l945 tentang Tugas Pembantuan
  3. Pasal 10 ayat 3 UU No. 32/2005 mengatur tentang Agama adalah Urusan Pemerintah Pusat
  4. Pasal 10 ayat 4 tentang Penugasan Pemda oleh Pemerintah Pusat atas Urusan Pasal 10 ayat 3
  5. Pasal 13 tentang Urusan Wajib Pemprov
  6. Pasal 14 tentang Urusan Wajib Pemkab/Kota
  7. Pasal 228 UU No. 32 tahun 2005 mengatur tentang Organisasi Vertikal di daerah.

View Original Article

Tidak ada komentar: